Label

Senin, 08 September 2008

Filosofi Hati

Tak Punya Hati

(Filosofi Hati)

Kemarin ada perkelahian kecil antara aku dan seorang atlit penyandang cacat. Ceritanya waktu itu habis terima medali dia senyum dan lambaikan tangan sama gue, tapi gue biasa aja liat dia, tanpa ekspresi. Tapi itu bukan karena gue sepele, tapi emang lagi males senyum aja. Eh dia nyamperin, dia langsung labrak gue, eh anak muda, jangan sok lu, buat senyum aja apa sih susahnya, kata dia. Kayak masalah lu paling berat sedunia aja, tambahnya. Karena gue ga mau ribut, jadi gue diem aja. Eh dia tambah marah dan orasi di depan gue. Dia bilang, apapun masalah lu ga ada apa-apanya dengan jalan hidup yang gue lewati, dengan satu kaki dan satu kaki palsu, gue bisa tetep jadi atlit lari, kata dia. eh lu yang badannya lengkap mau sok stress, ga pantas. Minimal dalam hidup lu bisa bagikan senyum lah. Akhirnya gue tersenyum kecil dan ngomong sama dia, gue lagi ga perduli sama masalah gue itu apa, tapi kalo emang lu mau tahu, oke kita ngobrol, kata gue. Kalo lu punya prestasi walaupun lu cacat, itu memang satu perjuangan dan gue hargai itu, tapi biar lu tahu bahwa kekuatan yang terbesar adalah hati manusia. Makanya lu mudah senyum, karena lu masih punya hati., dan akhirnya itu jadi kekuatan penganti kaki lu yang hilang, kata gue. Sementara gue sendiri sudah lupa gimana rasanya ketawa, karena hati gue dah lama beku n mati. Walaupun badan gue lengkap, gue menjadi lemah karena gue kehilangan satu anggota tubuh gue, dan itu adalah hati gue, pusat kekuatan hidup gue. Makanya kehilangan hati berarti kehilangan segalanya yang ada sama gue. Bahkan gue ga punya kekuatan untuk senyum, bagaimana gue bisa berjuang untuk hidup seperti yang lu bilang. Bahkan gue juga ga bisa nangis, karena gue udah ga bisa bedain mana sedih, mana senang, buat gue rasanya sama saja, yaitu menyakitkan. Lalu gue pergi

Tidak ada komentar: