Label

Selasa, 08 Juli 2008

Korelasi Hegemoni, Kapitalisme dan Konstruksi Sosial

Korelasi Hegemoni, Kapitalisme dan Konstruksi Sosial

Sistem ekonomi-politik kapitalisme memastikan bahwa perolehan laba yang maksimal adalah prioritas utama, dengan cara apapun bahwa modal produksi yang telah dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Untuk mewujudkan hal tersebut media dengan sistem ekonomi-politik kapitalis akan berusaha melihat faktor-faktor produksi yang bisa dimanfaatkan untuk memperoleh laba maksimal. Pada situasi ini, seperti yang diutarakan sebelumnya, bahwa media melihat bahwa wanita merupakan aset yang menguntungkan jika dikomoditikan. Segala apa yang ada pada wanita bisa dijadikan “barang jual”. Anggapan bahwa wanita merupakan aset yang menguntungkan membuat media berusaha menempatkan wanita pada posisi menonjol dalam setiap tayangan, karena kapitalis yakin bahwa wanita adalah objek menarik yang paling dicari dan dinanti oleh khalayak, dan sudah tentu tayangan sinetron yang disiarkan akan mendapat rating tinggi jika semakin banyak dicari oleh khalayak. Ketertarikan khalayak inilah yang dimanfaatkan oleh media untuk melakukan penggunaan tubuh perempuan dalam setiap konten acara mereka. Di sinilah media melakukan eksploitasi kepada perempuan, eksploitasi ini mencakup keseluruhan apa yang ada pada perempuan secara keseluruhan.

Untuk mempertahankan posisi di mana media memperoleh laba maksimal, media perlu memastikan bahwa perempuan di mata khalayak mempunyai citranya sendiri, di mana citra tersebut adalah citra yang dapat diterima secara universal oleh khalayak. Untuk membentuk citra itu, media sendiri yang melakukannya, di sinilah proses konstruksi terhapa citra perempuan dibentuk oleh media. Perempuan dibatasi pada garis nilai kecantikan menurut apa yang diinginkan oleh media. Perempuan cantik dibentuk secara perlahan namun terus menerus dan menjadi sesuatu yang baku diterima oleh masyarakat. Kecantikan yang mengharuskan perempuan untuk putih, langsing, bibir sensual dan memiliki daya tarik seksual bahkan mengkonstruk perempuan sendiri, maka dengan sendirinya perempuan berusaha menjadi perempuan yang dicitrakan oleh media untuk dapat diterima oleh khalayak sebagai figur artis.

Konstruksi yang dibuat oleh media juga menghilangkan batas tabu di tengah masyarakat, apa yang dulu dianggap hanya boleh dibicarakan pada ruang tertentu secara perlahan diumbar oleh media dan tanpa sadar masyarakat pun melupakan bahwa ada hal-hal tertentu yang dulunya dibatasi oleh garis etika dan moral untuk tidak diumbar di depan umum. Sikap ini tentunya akan melanggengkan media kapitalis untuk menyajikan konten acara yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau norma yang sudah kabur maknanya. Jadi ketika sinetron ini menayangkan pelajar smu membicarakan transaksi seks, masyarakat tidak melakukan kritikan apalagi penolakan, karena apa yang ditampilkan oleh media dianggap sesuatu yang wajar dan dianggap merupakan refleksi yang terjadi di tengah masyarakat.

Model produksi media kapitalis senantiasa menjadi diskursus di masyarakat, bahwa sesungguhnya media kapitalis hanya merefleksi apa yang ada pada masyarakat, dengan mengabaikan pendidikan moral di masyarakat itu. Sebenarnya, ketidak pedulian ini bukan hanya ada di media massa, namun merupakan konstruksi sosial besar dalam masyrakat kita saat ini. Jadi realitas media (maya) pada kenyataanya adalah juga realitas sosial, karena itu lakunya tayangan erotisme dimana tayangan tersebut menyajikan tayangan yang banyak mengumbar seks dan tubuh perempuan disebabkan karena “rusaknya” moral masyarakat itu sendiri, kapitalis hanya menggunakan event tersebut hanya untuk menyelematkan kapital mereka. Untuk merefleksi realitas sosial kedalam realitas media, terkadang media massa terlalu berlebihan.[1]

Konstruk yang dibuat oleh media secara terus menerus membuat masyarakat mengikuti dan menjadi konsumen tetap terhadap produk yang diciptakan oleh media. Konstruksi ini juga yang membuat perempuan tunduk terhadap kekuasaan media sehingga mengikuti apa saja yang diminta oleh media untuk diperankan tanpa mempertimbangkan dampak bagi si perempuan itu sendiri, serta memikirkan apakah tindakan media tersebut merupakan eksploitasi atau bukan. Pada tahapan inilah ditemukan adanya hegemoni media dalam pengeksploitasia perempuan, dalam hal ini media yang dimaksud adalah media televisi.

Proses mencari laba, dan mempertahankan aset akan terus berlangsung pada media yang memang merefleksikan kepentingan kapitalis. Untuk mempertahankan ini medi mengkonstruk apa yang diinginkan oleh masyarakat, seperti apa citra atau bentuk produk jualnya digambarkan kepada masyarakat agar masyarakat sendiri yang akan mencari produk tersebut. Dalam hal ini, produk media itu adalah perempuan. Konstrusi juga dilakukan untuk melegalkan apa yang dibuat oleh media, baik itu penayangan acara (sinetron) yang sebenarnya diluar batas etika maupun pengeksploitasian itu sendiri. Konstruksi tersebut membuat masyarakat menerima secara terus menerus apa yang diciptakan oleh media, dan menjadikan perempuan terhegemoni karena perempuan tidak melakukan penolakan atas penindasan (pengeksploitasian) oleh media.

Proses Terbentuknya Hegemoni


Terjadinya hegemoni diawali dari konstruk yang dibuat oleh media, konstruk ini melahirkan ruang-ruang di mana opini masyarakat mulai terbentuk mengenai citra. Seperti pendapat masyarakat mengenai perempuan cantik adalah yang putih, langsing, bibir sensual dan memiliki daya tarik seksual adalah bagian dari spasialisasi, dimana citra perempuan di ruang-ruangkan oleh media dan perlahan mulai tertanam di tengah masyarakat untuk perlahan beradaptasi. Proses spasialisasi yang berlangsung secara terus menerus menciptakan opini yang melekat ditengah masyarakat, dimana opini atau citra yang sebelumnya di spasialisaikan semakin melekat dan semakin diterima. Pada tahap ini citra yang dibentuk oleh media sudah dianggap merupakan sesuatu yang wajar dan memang merupakan refleksi dari kehidupan sosial yang sebenarnya. Anggapan bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang putih, langsing, bibir sensual dan memililki daya tarik seksual dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh masyasrakat, dan dianggap memang demikian adanya. Lalu siapa yang menolak atau tidak setuju dengan naturalisasi akan dimasukkan dalam golongan abnormal.

Menjadi satu hal yang sangat mengkhawatirkan ketika proses spasialisasi dilakukan mengenai batas tabu akan bagian tubuh perempuan yang boleh diumbar dan mana yang tidak, perlahan media mulai melakukan spasialisasi dengan menunjukan bagian tubuh perempuan, namun di legalkan atas dasar adegan tersebut memang pada tempatnya, seperti menunjukan bagian tubuh terbuka ketika di pantai atau di diskotik. Ini adalah proses spasialisasi yang perlahan sudah diterima oleh masyarakat bahwa memang untuk adegan di pantai dan diskotik boleh lebih menunjukan bagian tubuh perempuan. Lalu apakah ada yang menyadari bahwa sinetron ditayangkan tidak hanya di tempat-tempat tertentu. Tampaknya proses ini pun telah ternaturalisasi, kita bisa bayangkan bagaimana jika ada tayangan sinetron atau film yang menampilkan perempuan yang serba tertutup ketika beradegan di pantai atau diskotik, tentunya tayangan tersebut akan dianggap tidak normal oleh masyarakat.



[1] Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si., Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal 101

Tidak ada komentar: